Oleh: Aifia A. Rahmah
Satu detik yang lalu, seorang laki-laki tua
yang telah tiga tahun silam menjadi pekerja parkir di salah satu mall ternama
tercengang. Bola mata hitamnya terlampau fokus pada sebuah jam tangan bernama
lelaki asing yang sulit ia eja, Michael Kors. Mahal dan berpenampilan seindah
wanita dengan putih bernuansa. Entah siapa yang kehilangan atau sengaja
meletakkannya di pos jaga. Yang jelas, saat ini laki-laki itu harus menjaganya.
Sesiapapun barangkali akan kembali untuk mengambilnya.
Lantas, tiba-tiba perhatiannya teralihkan. Jarum
jam tangan yang ia genggang diam. Dua orang berjenis perempuan dengan pakaian
kumal datang beriringan. Salah satu di antaranya terlihat telah berusia, yang
lainnya masih begitu muda. Keduanya mencoba masuk ke dalam mall tempat
kerjanya. Tapi, langkah mereka hanya terhenti tepat di depan dinding-dinding
kaca yang menawarkan kemewahan metropolitan.
Kedua perempuan itu terdiam. Cukup lama tanpa
melakukan apa-apa. Tiba-tiba, ada tangis yang tidak sempat dituangkan perempuan
tua itu. Sedang perempuan satunya terduduk putus asa melihat pantulan wujud
mereka. Sebab yang ingin mereka lihat sudah tidak ada lagi di sana. Barangkali
waktu lebih akrab dengan orang-orang kaya. Barangkali mereka sudah tidak
berkawan dengan masa.
Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati
kedua perempuan itu. Takut kalau-kalau pengunjung menjadi tidak nyaman, sedang
satpam hanya berdiri diam dan tersenyum pada mobil-mobil yang terus berdatangan
tanpa selang. Laki-laki itu menatap lekat kedua perempuan yang tidak berkata
seucapan juga. Seakan tidak menyadari kehadiran dirinya.
“Permisi, Bu,” sapanya sopan. Perempuan tua
itu menengok ke sumber suara. Sedang perempuan lainnya menengadah. Keduanya
tiba-tiba meneteskan air mata.
Laki-laki itu mengernyitkan dahinya. Tidak
paham, kenapa mereka menangis begitu saja. Belum sempat ia menanyakan hal itu
atau berusaha untuk mengusir mereka, perempuan tua itu mulai berkata-kata.
“Dimana kami tinggal, jika uang sudah menjadi
bangunan yang tidak berperi kemanusiaan pada kemiskinan. Negara apa yang
berpasal dan menyia-nyiakan ratusan kehidupan yang terlelap bahkan hanya dengan
selembar tikar?” ungkapnya dalam tangis yang terus bercucuran.
Laki-laki itu menjadi tidak tega, bahkan
hanya sekadar untuk berkata-kata. Ia tidak paham dengan kalimat yang terlontar
barusan. Hanya saja, perasaannya lebih paham dengan raut wajah perempuan tua
itu yang dipenuhi kekecewaan dan kesedihan. Entah karena ia menangis sedu sedan
atau karena matanya yang begitu menyiratkan duka kehidupan. Sebab laki-laki itu
tidak tahu menahu tentang perempuan tua itu -juga yang bersama. Maka ia hanya
bungkam dan mendengarkan.
“Seharusnya ia tidak ada. Seharusnya kami
masih bersuka cita dengan kemiskinan. Setidaknya ada tawa di bibir anak-anak
kami. Setidaknya gubuk-gubuk kami masih bisa dinaungi. Setidaknya kebersamaan
mampu menjadi penawar dari ketidakadilan negeri ini. Lantas, kenapa mereka
merebut apa yang kami miliki sedang mereka bisa bebas memilih lahan mendirikan
bangunan!” teriaknya sambil menunjuk-nunjuk gedung empat lantai di hadapannya.
Laki-laki
itu hanya menunduk. Ia memandangi jam tangan yang ia genggam. Ia paham, dulu
terjadi penggusuran di kawasan ini. Dua perempuan rela berkorban diri untuk
menyalurkan aspirasi yang tidak pernah didengar setiap kali. Jarum jam tangan
sudah berdetak kembali.
NB:
Ini dari lomba Flash Fiction yang diadakan oleh Nulis Buku dan suatu brand terkenal dan milik saya ini salah satu yang tidak menang.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar Anda untuk memastikan bahwa Anda adalah manusia, bukan robot ataupun alien.