Oleh: Aifia A. Rahmah
Kata orang, ayahku
sudah mati tenggelam. Sering kudengar pula bisik-bisik tetangga yang menyatakan
belas kasihnya padaku ketika aku lewat di hadapan muka mereka. Bukan tidak
ingin berlaku sopan pada orang-orang itu, aku hanya berpura-pura untuk tidak
mengenal dan mendengar percakapannya. Lalu, aku hanya berlalu begitu saja tanpa
menghiraukan mereka yang menatapku iba. Aku sangat yakin, suatu hari ayahku
akan kembali.
***
Langit sudah mulai
menjingga. Laut sudah mulai menggagahkan dirinya. Pasang. Membuat debur
ombaknya kian kuat dan mendesak ke bibir pantai. Mengantar kepiting-kepiting
kecil ke hamparan pasir. Aku masih saja duduk terdiam. Tidak berniat untuk
berlayar hari ini. Hanya terdiam menatap laut yang menghidupi desa kami.
Puluhan tahun yang lalu hingga kini.
Hampir semua warga desa
bermata pencaharian sebagai nelayan. Kebanyakan dari kami lebih suka hidup di
pinggiran dengan penuh kebahagiaan daripada harus merantau ke perkotaan yang
sering kali masih menjadikan hidup dipenuhi kesengsaraan. Aku tidak tahu
kebenarannya, karena aku termasuk orang yang lebih memilih bersahaja di desa.
Merawat ibuku yang sudah semakin hari semakin ditelan usia. Sedang usiaku terus
beranjak dewasa. Ada tangung jawab dipundakku sekarang. Sejak ayah berlayar dan
belum pula kembali pulang.
“Panji, tidak berlayar
kau?” tanya seorang laki-laki yang biasanya melaut bersamaku. Aku sangat
mengenalnya, Paman Samin. Laki-laki yang snagat peduli terhadap keluargaku. Aku
hanya tersenyum dan menggeleng sebagai jawaban. Laki-laki itu berjalan mendekat
ke arahku. Terduduk di sampingku.
“Kau melihat itu?”
tanya Samin kembali. Ia menunjuk langit yang sudah menghitam. Ternyata aku
sudah cukup lama berdiam. Lalu, kuikuti
saja telunjuknya yang mengarah pada sebuah rasi bintang. Gubuk penceng. Kami
menamainya begitu. Meski aku tahu kalau penjuru dunia menyebutnya Crux. Sedang
negeri kami menyebutnya Salib Selatan. Lalu kami mengenalnya dan menjadi akrab
begitu saja. Ialah penunjuk arah yang tidak pernah salah. Dua bintang rasi itu
meski bumi terus berputar selalu menunjuk pada arah yang sama, selatan. Gacrux
dan Acrux, dua pasang bintang yang jika ditarik garis lurus maka kami akan
kembali menemukan arah untuk pulang.
“Kau tahu, nelayan desa
kita tidak akan pernah tersesat. Alam menjaga dan merestui pekerjaan kita.
Suatu hari ayahmu pasti kembali. Selalu ada jalan pulang untuk ke sini,” tutur
Samin sambil menyentuh dada sebelah kanannya.
Aku terdiam. Ayahku
barang kali memang tidak kembali ke rumah. Tidak juga kembali berkumpul
bersama-sama kami lagi. Tapi, ia selalu pulang kembali ke hatiku, ibuku, juga
orang-orang desa yang menyayanginya.
“Apakah kau akan
berlayar?” tanya Samin menatap tepat kedua bola mataku. Aku tersenyum dan
mengangguk mantap.
Bogor, 15 April
2013
Sekilas tentang flash fiction ini:
Saat itu, ada lomba di Fisika Asyik (kalau nggak salah itu nama forumnya) di Facebook. Deadlinenya hanya beberapa jam lagi. Saat itu, malam sudah sangat tua. Baru beberapa tulisan saya ketik, kantuk sudah dahulu memenangkannya. Jam 6 naskah harus sudah diterima panitia. Bangunku, kesiangan. Alhasil, pukul limaan saya melanjutkan dan saya kirim ke panitia tepat puku enam. Saya tidak lolos! Barangkali temanya belum begitu astronomi atau fisika atau biologi atau kimia. Saya hanya menyempilkan sedikit tentang ilmu alam itu. Pemenangnya? Bukan saya, tapi seorang perempuan yang mneceritakan tentang SPU (Sistem Periodik Unsur) yang saya telah lupa sejak lulus SMA. Saya akan banyak berusaha!
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar Anda untuk memastikan bahwa Anda adalah manusia, bukan robot ataupun alien.