Langsung ke konten utama

Review: Ada “Lubang dari Separuh Langit” yang Dilihat Afrizal Malna



Novel yang keberadaanya sudah dikenal pada juli 2004 kembali lahir dengan wujud baru pada bulan September di tahun yang sama. Kepemilikannya sebenarnya sudah berada di dua tangan yang sebelumnya bernama Ira. Dan kini, buku karya Afrizal Malna ini telah berada di tangan saya sejak kemarin siang dan baru saja saya baca dan menyelesaikannya pagi ini (12/08). Detik yang menunjuk pada pukul 8.25 di tanah Yogyakarta pada pagi yang bising dengan suara hati yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah membuat saya sedikit terusik dalam fokus membacanya.
Seperti biasanya, saya lebih suka novel dengan kehidupan sosial dan permasalahan negara yang memang masih sering terjadi di negara ini. Saya merasa beberapa penulis memang sengaja mengambil topik ini sebab ingin menyalurkan dan menyampaikan secara lebih sederhana dan mudah agar semua kalangan bisa memahami. Tentu lewat batas kasta dan kelas yang selama ini masih sering diagungkan di  negeri ini, barangkali seperti kata seorang tokoh di dalam novel tersebut bahwa uang adalah kekuatan. Perkataan ini seakan menumjukan wujud perlawanan untuk ketidakadilan dalam hidup yang dipengaruhi kelas sosial.

Lubang dari Separuh Langit

Selama ini, barangkali kehidupan saya tidak seberat itu dan kelewat mudah yang harus tetap saya syukuri meski mungkin saya tanpa sengaja atau sengaja menyakiti hati orang disekitar saya sebab saya tidak mau lepas di zona  nyaman saya sendiri. Tapi, saya tidak suka jika dibilang orang yang berada di zona  nyaman tidak akan berkembang. Tapi, entahlah apa itu benar atau tidak yang pasti saya ingin mengembangkan impian saya.
Pembahasan dalam novel ini mengambil setting pemerintahan yang selalu semena-mena terhadap rakyat jelata. Dimana kehidupan sang tokoh berubah-ubah seakan-akan ada tuhan penulis yang menggerakkannya meski dalam hal ini penulis terkadang tidak memberitahukan perubahan waktu atau permasalahan yang tiba-tiba muncul. Ada beberapa bagian yang menurut saya saling loncat dan di belakang kehidupannya berbalik kembali. Mungkin di sana juga ada bagian dimana ada konflik batin dalam tokoh dengan imajinasinya masing-masing. Seperti, saat tiba-tiba Candi, sang tokoh utama ditemukan jatuh dalam sungai oleh Salim. Sepertinya saya belum membaca (atau terlewat?), sebab muasal Candi jatuh ke dalam sungai dan ditemukan oleh Salim dan kemudian keduanya hidup bersama dengan Candi menjadi seorang pelacur setelah 40 tahun yang kalau dia adalah seorang laki-laki (yang telah dikenalkan sebelumnya di awal) sebab tentu saja karena faktor ekonomi. Hal lainnya mungkin yang lebih tepat sebab novel ini banyak menggunakan metafor yang khas.
Selama membaca novelnya, saya membaca seakan ada kemunculan penulis yang secara sengaja dimasukkan di dalamnya. Barangkali, seperti film dokumenter dengan jenis parsipatoris yang memasukan filmmakernya pada bagian frame pada layar  visual. Dan di sini Afrizal Malna seperti menyerupa menjadi Bayang dewasa sebagai tokoh di dalamnya. Meski saya barangkali tidak benar untuk itu. Tapi, dalam pengantarnya, Malna pun telah membicarakan seakan perihal tokoh Aku atau Candi dalam tokoh lebih kurang sebab seakan digerakan kembali oleh penulis (jika saya tidak salah tangkap).
Kehidupan di dalam novel berasal dari kehidupan seorang laki-laki yang menginginkan kehidupan baru dengan menggumpulkan kuku-kuku. Dan nyatanya dengan sangat berani Malna, mengubah tokohnya menjadi seorang perempuan dan memasuki kehidupan perempuan dengan melihat kehidupan di bantaran sungai yang berjuang untuk membangunn rumah-rumahnya dengan keringat dan darah mereka.
Adalah kehidupan sebagai wartawan yang dialami tokoh Candi. Bertemu dengan orang-orang yang dikenal dengan nama Neneng yang bekerja sebagai pelacur, Jejak sang preman yang mempertahankan kampungnya dari gususarn negara, juga ada Salim yang menolongnya nantinya, juga kehidupan para tukang becak yang mulai dihapuskan serta adanya ibu-ibu yang mempertahankan kehidupan mereka untuk sampai pada keadilan yang belum pernah mereka rasakan. Juga adanya Bayang kecil anak Neneng dan juga Bayang dewasa yang saya pikir itu adalah Afrizal Malna sendiri yang merupa Bayang.
Barangkali negeri ini memang sedang menghancurkan dirinya sendiri. Dengan adanya penggusuran yang terus menerus pada kehidupan rakyat dengan ekonomi rendah. Melakukannya dengan dasar mengurangi banjir dan untuk pembangunana. Padahal, nyatanya barangkali itu ada unsur  politik ekonomi penjilat yang ingin menang untung sendiri tanpa mempedulikan kaum papa. Tapi, tidak semudah itu negeri ini akan hancur jika ada banyak orang yang menjunjung kejujuran dan menjaga keadilan. Sampai saya teringat tentang perkataan di dalam bukunya bahwa sekolah awal mula menumbuhkan mental koruptor. Dan dititik tersebut saya menjadi kembali ke masa lalu dimana seorang guru Fisika favorit saya saat SMA yang mirip sekali dengan aktor Bollywood, Sahrul Khan itu berkata bahwa “wong jujur mesti mujur” sebab untuk menerapkan kejujuran sangatlah susah dan jika seseorang dapat jujur maka hidup akan beruntung. Pertama dalam bersekolah untuk menanamkan itu adalah mengerjakan tugas sendiri tanpa mencontek atau dikerjakan orang lain! Sebab hal ini masing jarang dilakukan oleh banyak siswa, ada. Namun barangkali hanya dapat dihitung satu atau dua saja. Orang yang pintar, PR atau tugasnya akan dicontek secara berjamaah dan hasilnya nilai dilempar sama rata padahal yang kerja hanya satu orang saja. Dan hal ini semestinya dihapuskan, bukankah lebih baik nilai bagus hasil usaha sendiri daripada nilai buruk nyontek dari orang lain?
Afrizal Malna, saya tidak mengenal karya yang lainnya dengan benar tetapi namanya sering saya dengar. Dan novel dengan judul Lubang dari Separuh Langit adalah novel pertamanya yang saya baca.  Dengan kehidupan kelas ekonomi rendah, ada kita yang harus menghancurkan dinding pemisah antar kelas itu dengan menunjukan bahwa kita semua sama dan kita adalah satu, Indonesia yang harus sejahtera. Saling berjuang dan lakukan yang terbaik untuk bangsa ini.

Yogyakarta dengan jarak beberapa meter dari almamater seni yang saya cintai yang memiliki jarak dengan alamater lama yang kucinta pula.
12 September 2014
9.19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Masih Berputar

 Oleh: Aifia A. Rahmah Satu detik yang lalu, seorang laki-laki tua yang telah tiga tahun silam menjadi pekerja parkir di salah satu mall ternama tercengang. Bola mata hitamnya terlampau fokus pada sebuah jam tangan bernama lelaki asing yang sulit ia eja, Michael Kors. Mahal dan berpenampilan seindah wanita dengan putih bernuansa. Entah siapa yang kehilangan atau sengaja meletakkannya di pos jaga. Yang jelas, saat ini laki-laki itu harus menjaganya. Sesiapapun barangkali akan kembali untuk mengambilnya. Lantas, tiba-tiba perhatiannya teralihkan. Jarum jam tangan yang ia genggang diam. Dua orang berjenis perempuan dengan pakaian kumal datang beriringan. Salah satu di antaranya terlihat telah berusia, yang lainnya masih begitu muda. Keduanya mencoba masuk ke dalam mall tempat kerjanya. Tapi, langkah mereka hanya terhenti tepat di depan dinding-dinding kaca yang menawarkan kemewahan metropolitan. Kedua perempuan itu terdiam. Cukup lama tanpa melakukan apa-apa. Tiba-tiba, ad...

Review: Nagabonar Asrul Sani dalam Kajian Sosiologi Sastra- Dedi Pramana

Nagabonar beberapa tahun silam pernah dibuat ulang menjadi sebuah film setelah kesuksesan pada film sebelumnya yang dibintangi oleh Dedy Mizwar. Film dengan latar budaya Batak yang ceplas ceplos dan lugu itu mampu menampilkan film satire khas Asrul Sani untuk menyampaikan pesannya.                 Film menjadi salah satu produk budaya populer yang merupakan budaya yang banyak diminati oleh masyarakat. Lain halnya dengan budaya pop yang berusaha membuat sesuatu yang buruk bisa menjadi baik atau sebaliknya sehingga budaya pop adalah budaya untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Ada pula budaya rakyat yaitu budaya yang berkembang di dalam masyarakat dan dinikmati oleh khalayak ramai pula.  Nagabonar                 Pengertian budaya tersebut berlaku pula pada sastra populer. Satra populer adalah sastra yang menjadi sele...