“Kita
tidak akan tahu batas dari kata-kata kita sendiri.”
-Andreas
Harsono
Tertanggal sama dengan hari saya dilahirkan, kota
Yogyakarta mempertemukan saya dengan sebuah buku bersampul merah dengan judul nyentrik yang menurut saya sangat
menarik, “A9ama Saya adalah Jurnalisme”. Buku yang telah mengisi rak buku saya
baru saja ditamatkan hari ini, Sabtu pagi, ditemani dengan sebuah ejekan dari
seseorang yang berkata bahwa saya sedemikian cerewet sebagai perempuan. Bukankah itu sesuatu yang wajar.
Dengan judul yang terkesan kontrofersi ini kemudian saya
seakan memasuki ranah bahwa dalam agama pun bisa saja terdapat jurnalisme, namun
nyatanya setelah membaca buku Andreas ada sebuah tulisan yang sepemahaman saya
menyatakan bahwa tidak ada yang namanya jurnalistik islami. Artinya, ketika hal
tersebut terjadi maka tulisan dari jurnalis yang berkecimpung di “jurnalistik islami”
adalah sebuah propaganda. Hal ini pun berlaku untuk semua agama.
Mengingat ada berbagai macam jenis tulisan dalam
jurnalistik, nyatanya memang tidak mudah untuk menjadi seorang wartawan yang
tidak hanya harus dapat mengaplikasikan 9 element jurnalistik, ia punharus
menguasai dunia menulis agar informasi dapat diterima dengan baik oleh pembaca.
Maka untuk mendapatkan seorang wartawan yang cukup berkompeten dapat dilakukan
dengan membiarkan calon wartawan tersebut menuliskan dua tulisan. Seperti kata
penanggung jawab lembaga pers mahasiswa kami, dengan cara demikain dapat
dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengetahui tingkat kemampuan menulis
seseorang dan gaya menulis orang tersebut.
Hal penting lain dalam penulisan jurnalistik adalah memberi
kesempatan kepada penulis atau wartawan untuk “tersohor”. Artinya, membiarkan
tulisan yang tercetak pada media tertuliskan nama pengampunya. Dengan demikian,
maka penulis akan lebih bertanggungjawab dengan tulisannya dan tidak membiarkan
redaktur dan pimpinan redaksi saja yang terlibat untuk bertanggung jawab atas
tulisan yang diperizinkan naik cetak. Maka dengan begitu kemampuan seorang
wartawan pun dapat diakui apabila tulisan yang ada berkualitas serta
sebaliknya. Penulisan nama pada tulisan jurnalistik ini dikenal dengan byline. Hal yang baru saya ketahui
setelah membaca buku terbitan Kanisus; Yogyakarta.
Selepas itu, ada kabar baik yang akan membuat sebuah
terbitan tidak terlibat dalam aksi “amplop-amplop” dengan memisahkan diri
dengan iklan. Ada arena yang tidak bisa dimasuki antara keredaksian dan bagian marketing. Dengan demikian, akan
memudahkan keredaksian dalam memberikan informasi yang dibutuhkan warga dengan
lebih mengutamakan loyalitas terhadap masyarakat sesuai dengan salah satu dari
9 elemen jurnalistik.
Perlu diperhatikan pula bagi wartawan dalam menyampaikan
pertanyaan ada baiknya tidak lebih dari 13 kata. Hal ini dapat memudahkan
narsumber untuk menjawab dan menghindari “sok tahu”-an wartawan yang bisa saja
salah menyatakan sesuatu. Perlu diingat pula diusahakan dalam menbuat
pertanyaan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tertutup artinya
hanya dapat dijawab dengan ya atau tidak.
Demikian selintas dari buku “A9ama Saya adalah
Juranlisme” yang dapat sedikit saya bagikan. Di dalamnya juga terdapat
pembahasan mengenai wartawan boleh atau tidak mencuri data sebagai bahan untuk
melakukan investigasi. Namun, tidak akan saya bahas di sini. Dan sebenarnya
mengenal nama Andreas Harsono itu lebih lama dari mengenal bukunya, sebab
beberapa kali nama ini sering disinggung di unit kegiatan mahasiswa kampus yang
saya ikuti. Meski sampai saat ini belum sempat bertatap muka, dan semoga
dikemudian hari Lembaga Pers Mahasiswa kami bisa mendatangkan Andreas Harsono
sebagai pembicara terkait materi jurnalistik sastrawi. Sebab kami akan berjalan
dalam ranah tersebut dengan panduan dari 9 elemet jurnalistik milik Bill Kovach
da Tom Rosenstiel yang disunting oleh Andreas Harsono sendiri
Sabtu,
Yogyakarta 6 Desember 2014
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar Anda untuk memastikan bahwa Anda adalah manusia, bukan robot ataupun alien.