Langsung ke konten utama

Media dan Tanda



Seberapa sering manusia dapat membaca tanda di sekitar dengan benar? Ataukah setiap tanda yang diciptakan dalam lingkungan bisa diartikan sesuai pemikiran seseorang atau sebagian orang di suatu ruang yag sama dengan latar belakang yang berbeda? Tidak lain kelahiran ilmu pengetahuan bernama Semiotika dapat menjawab kedua pertanyaan pengantar tersebut. Ilmu yang mempelajari tanda yang ada disekitarnya ini menjadi hal penting agar pesan yang disampaikan oleh pembuatnya dapat tersampaikan maknanya. Pun dengan adanya media yang saat ini menjadi bagian konsumsi pokok sehari-hari tidak dapat lepas dari semiotika. Ketika semiotika memasuki media maka tidak akan lepas pula media sebagai bagian budaya kemasyarakatannya.
            Media sebagai sumber informasi telah menciptakan mediun televisi yang dapat menayangkan berbagai macam program acara dengan tanda-tanda yang tertanam di dalamnya. Dalam kuliah semiotika suatu hari yang telah lalu –meski cukup mengantuk beberapa menit- ada bagian penting yang telah diajarkan di ruang dingin salah satu fakultas kampus tercinta.
Berawal dari sebuah film Iran Children of Heaven, sebuah film yang apik dan membiarkan saya meneteskan air mata setiap kali menontonnya. Tanpa menyadari sesuatu, ternyata film dengan tokoh pemeran utamanya adalah anak kecil tersebut bukan karena tanpa sebab.  Kebijakan dalam pembuatan film di Iran adalah tidak diperbolehkan terlalu banyak menggunakan banyak tokoh yang diperankan oleh orang dewasa. Kebijakan dibuat tentu ada latar belakang yang mendasarinya, namun pada dasarnya dalam program televisi atau film yang diproduksi dibuat dengan melihat kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya. Maka, perkataan mengenai televisi adalah cerminan dari masyarakat dapat dibenarkan.
Televisi juga tidak dapat dipisahkan dari rating yang dapat menghidupi seluruh pihak yang telibat dalam dunia kotak ajaib tersebut. Seringkali dalam program televisi ada trend-trend tertentu yang muncul dalam satu periode dan kemudian akan hilang tertelan program acara yang baru dengan trend yang lain. Fenomena ini tengah berlaku dalam program acara sinetron Indonesia yang sejak adanya tayangan Ganteng-Ganteng Serigala mulai memunculkan berbagai macam program sejenis dengan tema yang hampir sama seperti Manusia Hariamau, Cakep Cakep Sakti, dan lainnya.
Ada sebuah pernyataan bahwa melihat suatu karya harus melihat latar belakang dimana karya tersebut lahir dan tidak bisa mengartikan tanda dalam karya tersebut berdasarkan latar belakang pribadi. Lantas tidaklah baik ketika mengartikan sesuatu berdasarkan pengalaman pribadi, sedangkan barangkali pembuat karya lebih berpengalaman atau memiliki pengalaman yang berbeda dengan penikmatnya.
Pada masa lampau, salah satu sutradara film Jepang Akira Kurosawa membuat film dengan ritme yang tenang tanpa berbagai macam konflik yang ada. Cina pun demikian. Kedua negara tersebut menciptakan film dengan ciri khas Asia Timur. Namun, sekarang ini baik film atau drama Jepang dan Cina, pun dengan Korea menciptakan berbagai macam tayangan dengan banyak konflik. Kejadian inilah yang menjadi salah satu dampak dari Global Village yang membuat manusia di seluruh dunia terhubung tanpa batas ruang dan waktu dengan bantuan internet.
Global Village menciptakan kesempatan bagi seseorang dengan teorinya menjadi mutlak diketahui atau diikuti oleh khalayak seluruh dunia. Pasalnya banyaknya tayangan dengan mengusung banyak konflik dalam ceritanya adalah teori barat mengenai penulisan naskah yang membiarkan klimaks masuk dalam cerita sehingga semua drama maupun film perlu menampilkan hal tersebut. Sebab teori yang ada mengenai penulisan naskah yang telah disepakati secara tidak langsung itu telah disebarkan melalui media.
Akhirnya, dengan pembahasan Global Village tersebut sang dosen telah menyelesaikan materi tentang Semiotika. Kantuk telah hilang dan tulisan ini sebagai hasil ingatan dan catatan kecil pribadi yang barangkali terdapat banyak kesalahan yang perlu diluruskan kebenarannya.


Ditemani bait-bait dan melodi puisi Sapardi Djoko Damono
Yogyakarta, 20 November 2014
Mengingat malu yang tampak ketika di hadapmu, tentang Jumat dan waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: Ada “Lubang dari Separuh Langit” yang Dilihat Afrizal Malna

Novel yang keberadaanya sudah dikenal pada juli 2004 kembali lahir dengan wujud baru pada bulan September di tahun yang sama. Kepemilikannya sebenarnya sudah berada di dua tangan yang sebelumnya bernama Ira. Dan kini, buku karya Afrizal Malna ini telah berada di tangan saya sejak kemarin siang dan baru saja saya baca dan menyelesaikannya pagi ini (12/08). Detik yang menunjuk pada pukul 8.25 di tanah Yogyakarta pada pagi yang bising dengan suara hati yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah membuat saya sedikit terusik dalam fokus membacanya. Seperti biasanya, saya lebih suka novel dengan kehidupan sosial dan permasalahan negara yang memang masih sering terjadi di negara ini. Saya merasa beberapa penulis memang sengaja mengambil topik ini sebab ingin menyalurkan dan menyampaikan secara lebih sederhana dan mudah agar semua kalangan bisa memahami. Tentu lewat batas kasta dan kelas yang selama ini masih sering diagungkan di   negeri ini, barangkali seperti kata seorang tokoh ...

Bingkai Estetik; Melangkah Menuju Jurnalistik yang Estetik

“Fungsi tulisan adalah menyampaikan yang tidak bisa dikatakan.” Restu Ismoyo Aji             Memasuki ranah jurnalistik sastrawi atau yang diperkenalkan dan akan dijalani oleh lembaga pers mahasiswa kampus seni adalah jurnalisme yang estetik. Gagasan jurnalisme yang estetik berasal dari penanggungjawab lpm kampus kami, pak Koskow. Dengan pengantar sebuah tulisan miliknya, maka dikenalkan bahwa jurnalistik yang estetik adalah sebuah ajakan yang meskipun akan sulit untuk dipahami, mengutip dari tulisan beliau bahwa yang estetik adalah menunjuk pada praktik seni yang katakanlah di luar arus utama. Membaca kalimat tersebut, maka jurnalistik yang estetik bukan berati kalah dengan jurnalistik yang ada di luar sana namun memiliki gaya kepenulisan yang berbeda dan tentu dengan analisis yang mendalam pula.             Berkaitan dengan praktik seni yang ada, setiap orang din...

Film Action Drama

 Satu genre film yang menjadi tugas akhir semester Videografi 2, Action Drama . Genre ini tentu saja bersahabat sekali dengan adegan-adegan perkelahian yang merupakan salah satu daya tarik untuk memikat penonton. Tapi, sering kali saya melihat film dengan genre action drama pasti salah satu diantaranya yaitu untuk versi dramanya seringkali diabaikan. Meskipun tidak semua film demikian. proses pembuatan film dengan genre Action Drama ini sekitar kurang lebih seminggu untuk proses syutingnya sendiri. Ada beberapa masalah yang menjadi kendala dalam proses pembuatannya, tapi kami cukup bisa untuk mengatasinya. Sampai pada tiba waktunya untuk melakukan penayangan film kami dan juga film kelompok lainnya, pihak dosen memberikan komentar, tanggapan, dan juga pertanyaan yang sangat membangun dan tentu saja membuat menciut sebab beberapa pertanyaan terkadang tidak mampu kami jawab sesuai dengan teori. Hal ini saya pahami sebab kebanyakan diantara kami lebih suka melakukan praktek d...