Langsung ke konten utama

The Giver: Hidup di Dunia Tanpa Rasa Sakit

Aku ingin berterima kasih kepada Phillip Noyce sebagai sutradara yang telah melakukan ekranisasi dari buku The Giver karya Logis Lowry menjadi sebuah karya film. Karya yang lahir di tahun 2014 tersebut semakin menumbuhkan kepercayaan bahwa dunia tidak akan pernah baik-baik saja bagaimanapun manusia yang akan hidup di dalamnya. "Manusia selalu salah membuat pilihan," ungkap Chief Elder (Meryl Streep).

Aku juga akan mengucapkan selamat datang pula padamu ketika memilih tombol putar pada film yang tentu saja filenya harus sudah kamu punya. "Selamat datang di dunia tanpa ada rasa sakit!" Aku tidak salah bicara atau kamu juga tidak salah dengar. Sebab pertama kali film ini diputar, kamu akan disajikan pada dunia baru yang dibentuk dengan kesetaraan dan penuh keteraturan.

"Shit! Film tahun berapa sih ko masih BW (Black and White)!" keluhku ketika menonton The Giver untuk yang pertama kali. Aku cek nama filenya lagi. Benar, karya ini lahir 2014. Jadi, kenapa BW?

Aku akan menceritakannya pelan-pelan. Dan aku akan meyakinkanmu terlebih dulu bahwa umpatan sepertiku tadi tidak akan mungkin diucapkan oleh para tokoh dalam film. Barangkali kamu akan bosan sebab di dalamnya plot cerita hampir disajikan cukup pelan. Sedikit datar dan konflik yang biasa saja.

The Giver boleh dikatakan sebagai film dystopian -istilah ini baru aku ketahui juga, mengangkat cerita dengan mengusung latar waktu di masa mendatang. Seperti, Blade Runner untuk film produksi 2017. Visual BW yang aku bicarakan tadi sengaja disajikan untuk menunjukan dunia tanpa konflik yang sengaja diciptakan oleh para tetua. Dunia yang pernah aku pikirkan akan sempurna ketika suatu hari nanti tidak ada agama, ras, dan suku yang berbeda. Tidak ada yang merasa paling benar dan saling menyalahkan sebab semuanya setara.

Aku jadi sedikit teringat dengan perdebatan di tahun lalu mengenai LGBT dan Zina. Sampai sekarang masih sedikit tersisa sebab beberapa hari lalu ada seseorang yang berpendapat mengenai hal itu. "Orang-orang yang terkena LGBT itu kerasukan jin kaum Sodom," katanya. Aku hanya mencuri dengar dan tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Dan kamu tahu, jika kamu berada di komunitas baru ini bahkan untuk bersentuhan dengan orang bukan unit keluarganya tidak diizinkan. Ada CCTV yang akan terus mengawasi. Lantas, bagaimana dengan reproduksi?

The Giver menyajikan pandangan yang menarik. Semua pekerjaan telah ditentukan pada setiap orang setelah masa kelulusan sesuai dengan kemampuan. Bahkan sebagai ibu pengandung. Seorang perempuan yang akan melahirkan bayi-bayi untuk kemudian dijadikan sebagai anak pada unit keluarga tertentu.

Jika kamu terus mengikuti film ini, perlahan visual BW (grayscale) yang disajikan akan pelan-pelan berwarna. Jonas (Brenton Thwaites) adalah Seorang penerima kenangan dari The Giver (Jeff Bridgess) yang menjadi penyebab perubahan itu. Semakin ia mengenal rasa, semakin kamu bisa melihat warna pada kehidupan di visual film. Awalnya, sebelum Jonas terpilih, ia sudah menyadari ada yang aneh pada dirinya. Sayangnya, superego pada dirinya terus menahan bahwa ia tidak ingin berbeda. Berbeda merupakan sesuatu kesalahan.

Narasi yang dibangun tidak terburu-buru. Jadi, kamu tidak perlu berpikir keras untuk mengerti kenapa tokoh begini atau begitu. Sebab akibat dari setiap kejadian dan keputusan tokoh memiliki korelasi yang baik. Aku tertarik pada suntikan yang harus diberikan setiap pagi pada semua orang untuk menahan perasaan atau emosi apapun pada manusia. Bahkan mereka tidak mengenal rasa cinta, itu hanya dapat diartikan sebagai rasa nyaman. Dan kematian tidak dikatakan sebagai kematian. Itu hanya bentuk pelepasan.

Kehadiran sahabat Jonas, seperti Fiona (Odeya Rush) dan Asher (Cameron Monoghan) sudah diputuskan dengan tepat. Keduanya menjadi tokoh deutragonis yang membantu Jonas pada klimaks cerita.  Dan kamu juga akan menemukan Rosemary (Taylor Swift) dan mendapati ia bermain piano. Oh, iya kupikir kamu akan lega setelah menamatkan film ini karena ending cerita sengaja disajikan tertutup.

Aku akan menutup tulisan ini dengan ucapan dari Chief Elder, "Cinta bisa berubah. Manusia lemah dan egois." Menurutmu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: Ada “Lubang dari Separuh Langit” yang Dilihat Afrizal Malna

Novel yang keberadaanya sudah dikenal pada juli 2004 kembali lahir dengan wujud baru pada bulan September di tahun yang sama. Kepemilikannya sebenarnya sudah berada di dua tangan yang sebelumnya bernama Ira. Dan kini, buku karya Afrizal Malna ini telah berada di tangan saya sejak kemarin siang dan baru saja saya baca dan menyelesaikannya pagi ini (12/08). Detik yang menunjuk pada pukul 8.25 di tanah Yogyakarta pada pagi yang bising dengan suara hati yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah membuat saya sedikit terusik dalam fokus membacanya. Seperti biasanya, saya lebih suka novel dengan kehidupan sosial dan permasalahan negara yang memang masih sering terjadi di negara ini. Saya merasa beberapa penulis memang sengaja mengambil topik ini sebab ingin menyalurkan dan menyampaikan secara lebih sederhana dan mudah agar semua kalangan bisa memahami. Tentu lewat batas kasta dan kelas yang selama ini masih sering diagungkan di   negeri ini, barangkali seperti kata seorang tokoh ...

Bingkai Estetik; Melangkah Menuju Jurnalistik yang Estetik

“Fungsi tulisan adalah menyampaikan yang tidak bisa dikatakan.” Restu Ismoyo Aji             Memasuki ranah jurnalistik sastrawi atau yang diperkenalkan dan akan dijalani oleh lembaga pers mahasiswa kampus seni adalah jurnalisme yang estetik. Gagasan jurnalisme yang estetik berasal dari penanggungjawab lpm kampus kami, pak Koskow. Dengan pengantar sebuah tulisan miliknya, maka dikenalkan bahwa jurnalistik yang estetik adalah sebuah ajakan yang meskipun akan sulit untuk dipahami, mengutip dari tulisan beliau bahwa yang estetik adalah menunjuk pada praktik seni yang katakanlah di luar arus utama. Membaca kalimat tersebut, maka jurnalistik yang estetik bukan berati kalah dengan jurnalistik yang ada di luar sana namun memiliki gaya kepenulisan yang berbeda dan tentu dengan analisis yang mendalam pula.             Berkaitan dengan praktik seni yang ada, setiap orang din...

Film Action Drama

 Satu genre film yang menjadi tugas akhir semester Videografi 2, Action Drama . Genre ini tentu saja bersahabat sekali dengan adegan-adegan perkelahian yang merupakan salah satu daya tarik untuk memikat penonton. Tapi, sering kali saya melihat film dengan genre action drama pasti salah satu diantaranya yaitu untuk versi dramanya seringkali diabaikan. Meskipun tidak semua film demikian. proses pembuatan film dengan genre Action Drama ini sekitar kurang lebih seminggu untuk proses syutingnya sendiri. Ada beberapa masalah yang menjadi kendala dalam proses pembuatannya, tapi kami cukup bisa untuk mengatasinya. Sampai pada tiba waktunya untuk melakukan penayangan film kami dan juga film kelompok lainnya, pihak dosen memberikan komentar, tanggapan, dan juga pertanyaan yang sangat membangun dan tentu saja membuat menciut sebab beberapa pertanyaan terkadang tidak mampu kami jawab sesuai dengan teori. Hal ini saya pahami sebab kebanyakan diantara kami lebih suka melakukan praktek d...