Langsung ke konten utama

Review: Teori Apresiasi Sastra oleh Dra. Sugihastutu, M.S



Cara menghargai sebuah karya sastra salah satunya adalah dengan memberikan apresiasi sebagai wujud penghargaan. Buku dengan  judul Teori Apresiasi Sastra ini ternyata bukan menunjukan bentuk atau macam dari teori apresiasi sastra namun berisi beberapa kumpulan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.
                Buku ini membantu saya menemukan beberapa hal mengenai pendekatan ekspresif yang menunjukan bahwa makna karya sastra ditentukan oleh maksud pengarangnya yang disebutkan oleh dua tokoh yaitu Juhl dan Hirsch. Dalam karya sastra juga terdapat genre true story yang bisa berasal dari pengalaman pribadi pengarang maupun berupa buku catatan harian. Seperti halnya sebuah film yang juga terkadang based on true story.  Mengingat hal tersebut novel dan film memiliki keterkaitan apalagi sekarang ini film banyak sekali yang diadaptasi dari novel.

Teori Apresiasi Sastra
                Mengapresiasi karya sastra dapat dilakukan dari sudut pandang teori resepsi yaitu penekanan penelitian kepada pembaca dan karya sastra dapat menimbulkan reaksi nyata untuk pembaca. Pembaca dapat melakukan atau tidak melakukan sesuatu setelah membaca sebuah karya sastra.
                Karya sastra yang sering muncul di ranah literasi Indonesia menggunakan teori Aristoteles dengan struktur V. Kemunculan yang sering ini diberagamkan oleh adanya novel terjemahan. Novel terjemahan tersebut bukan bagian dari sastra marjinal sebab tidak memiliki pusat.  
                Ada pembahasan pula mengenai media televisi yang dikaitkan dengan sastra. Televisi dikatakan sebagai media pasif padalah dengan adanya televisi dapat menggugah pemirsa agar membaca dengan keras mengenai suatu informasi yang ditayangkan. Televisi sebenarnya tidak menghambat pertumbuhan otak dikarenakan gelombang saat menonton televisi sama seperti saat melakukan aktivitas lainnya. Televisi dapat membantu meningkatkan perhatian tergantung dengan tayangan yang disajikan. Dapat meningkatkan kecintaan membaca sebab ada beberapa acara yang bertujuan untuk memotivasi penonton untuk membaca.
                Beberapa hal diatas adalah sebagian dari isi buku Teori Apresiasi Sastra.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: Ada “Lubang dari Separuh Langit” yang Dilihat Afrizal Malna

Novel yang keberadaanya sudah dikenal pada juli 2004 kembali lahir dengan wujud baru pada bulan September di tahun yang sama. Kepemilikannya sebenarnya sudah berada di dua tangan yang sebelumnya bernama Ira. Dan kini, buku karya Afrizal Malna ini telah berada di tangan saya sejak kemarin siang dan baru saja saya baca dan menyelesaikannya pagi ini (12/08). Detik yang menunjuk pada pukul 8.25 di tanah Yogyakarta pada pagi yang bising dengan suara hati yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah membuat saya sedikit terusik dalam fokus membacanya. Seperti biasanya, saya lebih suka novel dengan kehidupan sosial dan permasalahan negara yang memang masih sering terjadi di negara ini. Saya merasa beberapa penulis memang sengaja mengambil topik ini sebab ingin menyalurkan dan menyampaikan secara lebih sederhana dan mudah agar semua kalangan bisa memahami. Tentu lewat batas kasta dan kelas yang selama ini masih sering diagungkan di   negeri ini, barangkali seperti kata seorang tokoh di d

Antologi Ke-8; Ketika Cinta Bersemi

Masih dengan latar Jepang, ini adalah naskah ke dua saya yang berhasil masuk menjadi sebuah buku bersama naskah-naskah keren lainnya yang berlatar berbeda tetapi dengan musim yang sama; Semi. Saya ingat betul Penerbit Alif Gemilang Pressindo mengadakan lomba kisah cinta pada musim semi, tentunya dengan latar luar negeri. Saya sudah tertarik sekali. Sebab ada satu cerita yang tiba-tiba melintas di otak saya ketika membaca pengumuman event tersebut pertama kali. Saya sudah paham bahwa saya sampai saat ini belum bisa mengisahkan negeri lain selain Jepang. Sebab untuk beberapa hal saya hanya tahu menahu tentang Negeri Sakura tersebut. Padahal, mungkin kalau sekarang orang semacam dan seusia saya bisa jadi sangat menyukai Korea. Tapi, tidak begitu dengan saya. Yah, karena sudah pasti bahwa sejak awal saya hampir-hampir bermimpi untuk bisa kuliah atau hanya sekadar menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit tersebut. Dan pada akhirnya, tentu saja saya hanya bisa mengambil latar Jepang seb

Saint Seiya; The Lost Canvas

The Lost Canvas , subjudul yang sangat tepat untuk Saint Seiya yang sudah tiga hari ini saya tonton. Saya dulu juga pernah menonton anime ini, hanya saja tidak saya ikuti dari awal. Dan ternyata awalnya sangat membuat saya sebal. Saya tidak terima. Persahabatan antara Tenma, Alone, dan Sasha sepertinya harus berakhir agar cerita Saint Seiya bisa berjalan. Subjudul tersebut, saya paham kenapa memang dipilih -karena memang seharusnya begitu- sebab Alone yang merupakan seorang pelukis harus kehilangan dirinya sendiri untuk dijadikan tempat hidup Hades, seorang raja kegelapan. Juga Tenma dan Sasha yang harus kehilangan sahabat mereka sendiri. Saya tidak terima karena hal ini. Saya suka Alone yang sangat baik hati, kelewat baik hati. Suka dengan pirang dan biru matanya, sebab seperti Naruto. Rasanya sedih sekali, saat gelang yang ada di tangan kanan Alone terputus. Apalagi melihat Tenma yang tidak bernyawa lagi  di tangan sahabatnya sendiri. Meski, mungkin di episode mendatang Tenma juga