Langsung ke konten utama

Review: Nagabonar Asrul Sani dalam Kajian Sosiologi Sastra- Dedi Pramana



Nagabonar beberapa tahun silam pernah dibuat ulang menjadi sebuah film setelah kesuksesan pada film sebelumnya yang dibintangi oleh Dedy Mizwar. Film dengan latar budaya Batak yang ceplas ceplos dan lugu itu mampu menampilkan film satire khas Asrul Sani untuk menyampaikan pesannya.
                Film menjadi salah satu produk budaya populer yang merupakan budaya yang banyak diminati oleh masyarakat. Lain halnya dengan budaya pop yang berusaha membuat sesuatu yang buruk bisa menjadi baik atau sebaliknya sehingga budaya pop adalah budaya untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Ada pula budaya rakyat yaitu budaya yang berkembang di dalam masyarakat dan dinikmati oleh khalayak ramai pula. 

Nagabonar

                Pengertian budaya tersebut berlaku pula pada sastra populer. Satra populer adalah sastra yang menjadi selera banyak orang meskipun lebih menekankan pada psikologis dan bersifat hiburan serta memiliki konflik yang sederhana-steriotipe. Sastra populer dikatakan pula sastra menengah sebab tidak berada dalam buku kesusastraan ataupun majalah. Kemudian, untuk sastra pop adalah satra yang menawarkan selera baru.
                Kehadiran sastra dengan berbagai jenisnya mempunyai kesempatan yang sama untuk dianalisis. Seperti halnya seni, sastra dapat dianalisis  sebagai wujud konteks, tempat, dan juga waktu.  Satra populer yang saat ini banyak diminati kalangan remaja dikatakan dalam buku ini menjadi satra dengan cerita yang “melarikan diri”. Dapat dilihat sastra atau tayangan yang ada menampilkan tokoh-tokoh yang tampan dan memiliki kehiudpan serba mewah atau dapat dikatakan paling bahagia dimuka bumi dengan konflik dengan tokoh antagonis yang dilebih-lebihkan. Tentu saja realitas yang disajikan dalam sastra populer maupun produk budaya populer lainnya.
                Kehadiran satra beberapa diantara apabila tidak memiliki konflik yang komplek maka akan merujuk pada satra yang mengandung banyak unsur pornografi sedangkan sebenarnya pornografi ini sebagai pelengkap bukan tujuan seperti halnya film-film horor yang seringkali menjual paha dan dada wanita. Cerita yang klise ini membuat watak tidak berkembang, faktor ilmu yang kurang, serta penggambaran hitam putih.
                Skenario Nagabonar yang dibahas pada penelitian ini masuk menjadi satra terlepas dari unsur teknis cinematografi yang ada pada ceritanya. Di dalam buku ini akan disebutkan berbagai hal terkait cerita, plot, perwatakan, setting yang ada pada skenario Nagabonar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: Ada “Lubang dari Separuh Langit” yang Dilihat Afrizal Malna

Novel yang keberadaanya sudah dikenal pada juli 2004 kembali lahir dengan wujud baru pada bulan September di tahun yang sama. Kepemilikannya sebenarnya sudah berada di dua tangan yang sebelumnya bernama Ira. Dan kini, buku karya Afrizal Malna ini telah berada di tangan saya sejak kemarin siang dan baru saja saya baca dan menyelesaikannya pagi ini (12/08). Detik yang menunjuk pada pukul 8.25 di tanah Yogyakarta pada pagi yang bising dengan suara hati yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah membuat saya sedikit terusik dalam fokus membacanya. Seperti biasanya, saya lebih suka novel dengan kehidupan sosial dan permasalahan negara yang memang masih sering terjadi di negara ini. Saya merasa beberapa penulis memang sengaja mengambil topik ini sebab ingin menyalurkan dan menyampaikan secara lebih sederhana dan mudah agar semua kalangan bisa memahami. Tentu lewat batas kasta dan kelas yang selama ini masih sering diagungkan di   negeri ini, barangkali seperti kata seorang tokoh di d

Antologi Ke-8; Ketika Cinta Bersemi

Masih dengan latar Jepang, ini adalah naskah ke dua saya yang berhasil masuk menjadi sebuah buku bersama naskah-naskah keren lainnya yang berlatar berbeda tetapi dengan musim yang sama; Semi. Saya ingat betul Penerbit Alif Gemilang Pressindo mengadakan lomba kisah cinta pada musim semi, tentunya dengan latar luar negeri. Saya sudah tertarik sekali. Sebab ada satu cerita yang tiba-tiba melintas di otak saya ketika membaca pengumuman event tersebut pertama kali. Saya sudah paham bahwa saya sampai saat ini belum bisa mengisahkan negeri lain selain Jepang. Sebab untuk beberapa hal saya hanya tahu menahu tentang Negeri Sakura tersebut. Padahal, mungkin kalau sekarang orang semacam dan seusia saya bisa jadi sangat menyukai Korea. Tapi, tidak begitu dengan saya. Yah, karena sudah pasti bahwa sejak awal saya hampir-hampir bermimpi untuk bisa kuliah atau hanya sekadar menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit tersebut. Dan pada akhirnya, tentu saja saya hanya bisa mengambil latar Jepang seb

Saint Seiya; The Lost Canvas

The Lost Canvas , subjudul yang sangat tepat untuk Saint Seiya yang sudah tiga hari ini saya tonton. Saya dulu juga pernah menonton anime ini, hanya saja tidak saya ikuti dari awal. Dan ternyata awalnya sangat membuat saya sebal. Saya tidak terima. Persahabatan antara Tenma, Alone, dan Sasha sepertinya harus berakhir agar cerita Saint Seiya bisa berjalan. Subjudul tersebut, saya paham kenapa memang dipilih -karena memang seharusnya begitu- sebab Alone yang merupakan seorang pelukis harus kehilangan dirinya sendiri untuk dijadikan tempat hidup Hades, seorang raja kegelapan. Juga Tenma dan Sasha yang harus kehilangan sahabat mereka sendiri. Saya tidak terima karena hal ini. Saya suka Alone yang sangat baik hati, kelewat baik hati. Suka dengan pirang dan biru matanya, sebab seperti Naruto. Rasanya sedih sekali, saat gelang yang ada di tangan kanan Alone terputus. Apalagi melihat Tenma yang tidak bernyawa lagi  di tangan sahabatnya sendiri. Meski, mungkin di episode mendatang Tenma juga