Langsung ke konten utama

Postingan

The Giver: Hidup di Dunia Tanpa Rasa Sakit

Aku ingin berterima kasih kepada Phillip Noyce sebagai sutradara yang telah melakukan ekranisasi dari buku The Giver karya Logis Lowry menjadi sebuah karya film. Karya yang lahir di tahun 2014 tersebut semakin menumbuhkan kepercayaan bahwa dunia tidak akan pernah baik-baik saja bagaimanapun manusia yang akan hidup di dalamnya. "Manusia selalu salah membuat pilihan," ungkap Chief Elder (Meryl Streep). Aku juga akan mengucapkan selamat datang pula padamu ketika memilih tombol putar pada film yang tentu saja filenya harus sudah kamu punya. "Selamat datang di dunia tanpa ada rasa sakit!" Aku tidak salah bicara atau kamu juga tidak salah dengar. Sebab pertama kali film ini diputar, kamu akan disajikan pada dunia baru yang dibentuk dengan kesetaraan dan penuh keteraturan. "Shit! Film tahun berapa sih ko masih BW (Black and White)!" keluhku ketika menonton The Giver untuk yang pertama kali. Aku cek nama filenya lagi. Benar, karya ini lahir 2014. Jadi, kenapa BW
Postingan terbaru

Bingkai Estetik; Melangkah Menuju Jurnalistik yang Estetik

“Fungsi tulisan adalah menyampaikan yang tidak bisa dikatakan.” Restu Ismoyo Aji             Memasuki ranah jurnalistik sastrawi atau yang diperkenalkan dan akan dijalani oleh lembaga pers mahasiswa kampus seni adalah jurnalisme yang estetik. Gagasan jurnalisme yang estetik berasal dari penanggungjawab lpm kampus kami, pak Koskow. Dengan pengantar sebuah tulisan miliknya, maka dikenalkan bahwa jurnalistik yang estetik adalah sebuah ajakan yang meskipun akan sulit untuk dipahami, mengutip dari tulisan beliau bahwa yang estetik adalah menunjuk pada praktik seni yang katakanlah di luar arus utama. Membaca kalimat tersebut, maka jurnalistik yang estetik bukan berati kalah dengan jurnalistik yang ada di luar sana namun memiliki gaya kepenulisan yang berbeda dan tentu dengan analisis yang mendalam pula.             Berkaitan dengan praktik seni yang ada, setiap orang dinyatakan masih dalam tulisan yang sama bahwa pengetahuan ada beragam. Mengingat kenyataan ini maka setiap oran

Review - A9ama Saya Adalah Jurnalisme (Andreas Harsono)

“Kita tidak akan tahu batas dari kata-kata kita sendiri.”                                                             -Andreas Harsono             Tertanggal sama dengan hari saya dilahirkan, kota Yogyakarta mempertemukan saya dengan sebuah buku bersampul merah dengan judul nyentrik yang menurut saya sangat menarik, “A9ama Saya adalah Jurnalisme”. Buku yang telah mengisi rak buku saya baru saja ditamatkan hari ini, Sabtu pagi, ditemani dengan sebuah ejekan dari seseorang yang berkata bahwa saya sedemikian cerewet sebagai perempuan. Bukankah itu sesuatu yang wajar .             Dengan judul yang terkesan kontrofersi ini kemudian saya seakan memasuki ranah bahwa dalam agama pun bisa saja terdapat jurnalisme, namun nyatanya setelah membaca buku Andreas ada sebuah tulisan yang sepemahaman saya menyatakan bahwa tidak ada yang namanya jurnalistik islami. Artinya, ketika hal tersebut terjadi maka tulisan dari jurnalis yang berkecimpung di “jurnalistik islami” adalah sebuah prop

Film Komedi: Tertawa Tanpa Paksaan

Tertawa menjadi bagian yang begitu menyenangkan dalam kehidupan sebab dengan tertawa maka akan membuat seseorang merasa rileks dan terbebas dari beban kehidupan. Salah satu produk budaya populer untuk menghilangkan kepenatan setelah melakukan rutinitas sehari-hari adalah film dengan genre komedi. Film komedi meski sekarang ini tidak begitu banyak diproduksi dan terkalahkan oleh film romance dengan aktor dan aktris yang menawan tetap memiliki daya tarik sendiri. Namun, dalam memproduksi film komedi bukanlah hal yang gampang. Pasalnya, membuat orang tertawa adalah sesuatu yang cukup sulit. Apalagi kalau si pembuatnya bukan orang yang memiliki jiwa humor yang tinggi dan lucu bagi seseorang belum tentu lucu bagi yang lainnya. Tantangan membuat film genre komedi menjadi salah satu bagian tugas ujian tengah semester pada salah satu mata kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Adalah screening bersama yang membuat angkatan kami menonton hasil tugas masing-masing kelompok.

Seni Rupa Buku

“Don’t judge the book from the cover, don’t judge the cover from the book.”             Beberapa hari yang lalu, dengan ditemani rintik hujan yang menimbulkan genangan diberbagai lubang-lubang di jalanan. Kami mendatangai sebuah diskusi dengan tajuk ‘Lesehan’ di kantor IKAPI Yog y akarta. Perbincangan hangat dengan kopi hitam kesukaan teman-teman, dengan saya yang pertama kali merasakan kepahitan pekatnya kopi dengan sedikit gula.             Temu mata dan kata pada waktu itu dibuka oleh Cak Udin, seorang penggiat buku yang kemudian mempersilahkan Pak Koskow, salah satu dosen DKV ISI Yogyakarta sebagai pembicara mengenai Seni Rupa Buku. Ia menghadirkan sebuah tulisan dengan judul “ Buku, Seni, dan Kerakyatan: Catatan untuk Praktik Perbukuan di Yogyakarta ”.   Sebagai media bacaan, tulisan ini juga sebagai satu informasi bahwa pembicaraan akan terfokus dari hal-hal yang telah dituliskan.             Suatu waktu yang lampau, banyak sekali simbol kerakyatan yang dimunculkan bai

Media dan Tanda

Seberapa sering manusia dapat membaca tanda di sekitar dengan benar? Ataukah setiap tanda yang diciptakan dalam lingkungan bisa diartikan sesuai pemikiran seseorang atau sebagian orang di suatu ruang yag sama dengan latar belakang yang berbeda? Tidak lain kelahiran ilmu pengetahuan bernama Semiotika dapat menjawab kedua pertanyaan pengantar tersebut. Ilmu yang mempelajari tanda yang ada disekitarnya ini menjadi hal penting agar pesan yang disampaikan oleh pembuatnya dapat tersampaikan maknanya. Pun dengan adanya media yang saat ini menjadi bagian konsumsi pokok sehari-hari tidak dapat lepas dari semiotika. Ketika semiotika memasuki media maka tidak akan lepas pula media sebagai bagian budaya kemasyarakatannya.             Media sebagai sumber informasi telah menciptakan mediun televisi yang dapat menayangkan berbagai macam program acara dengan tanda-tanda yang tertanam di dalamnya. Dalam kuliah semiotika suatu hari yang telah lalu –meski cukup mengantuk beberapa menit- ada bagia