Langsung ke konten utama

Seni Rupa Buku



“Don’t judge the book from the cover, don’t judge the cover from the book.”
            Beberapa hari yang lalu, dengan ditemani rintik hujan yang menimbulkan genangan diberbagai lubang-lubang di jalanan. Kami mendatangai sebuah diskusi dengan tajuk ‘Lesehan’ di kantor IKAPI Yogyakarta. Perbincangan hangat dengan kopi hitam kesukaan teman-teman, dengan saya yang pertama kali merasakan kepahitan pekatnya kopi dengan sedikit gula.
            Temu mata dan kata pada waktu itu dibuka oleh Cak Udin, seorang penggiat buku yang kemudian mempersilahkan Pak Koskow, salah satu dosen DKV ISI Yogyakarta sebagai pembicara mengenai Seni Rupa Buku. Ia menghadirkan sebuah tulisan dengan judul “Buku, Seni, dan Kerakyatan: Catatan untuk Praktik Perbukuan di Yogyakarta”.  Sebagai media bacaan, tulisan ini juga sebagai satu informasi bahwa pembicaraan akan terfokus dari hal-hal yang telah dituliskan.
            Suatu waktu yang lampau, banyak sekali simbol kerakyatan yang dimunculkan baik dalam perbukuan, mural, dan bahkan dari Dagadu. Perbukuan dengan penerbit Pustaka Jaya telah melahirkan desain sampul buku yang mengambil desain yang mengambil tema-tema kerakyatan. Pun dengan mural, serta Dagadu yang menjadi bagian dari Yogyakarta ketika ia telah menciptakan sebuah slogan “Kapan ke Jogja lagi?” atau “Belilah yang Asli”. Slogan yang muncul tersebut tidak membiarkan pedagang kaos Dagadu KW termarginalkan dengan kata “Jangan Beli yang Palsu”. Artinya, pada kalimat itulah Dagadu pun memberikan peluang kepada masyarakat untuk menciptakan perekenomiannya sendiri.
            Mengingat desain sampul buku dari Pustaka Jaya, melihat kondisi perbukuan sekarang. Saat ini unsur atau simbol kemasyarakat mulai berkurang bahkan hampir-hampir sangat tenggelam sampai ke dasar. Desain cover tersebut mulai dibicarakan berbagai macam otak-otak hebat, dan ada keresahan yang muncul pada desain sampul disebabkan jaringan ke perupa yang barangkali tidak terjamah oleh penerbit atau penerbit yang belum memiliki pemikiran terhadap hal tersebut. Dengan kondisi seperti ini maka penerbit bisa saja bekerja sama dengan perupa untuk menciptakan desain yang memilki unsur kerakyatan. Pun ada ucapan dalam diskusi ketika penulis pun mendapat royalti terhadap karya seninya, desainer sampul pun ada baiknya mendapatkan royalty untuk desain yang ia buat. Tentunya dengan adanya kreativitas dan kejujuran maka hal tersebut dapat saja terpenuhi.
            Kondisi lain yang seringkali dialami oleh selfpublishing adalah dapat menemukan berbagai macam penulis baru, namun terkadang hanya sekedar berhasil menciptakan buku tanpa memperhatikan unsur yang harus ada dalam perbukuan. Ditambah dengan distribusi yang terkadang tidak segencar penerbit mayor. Banyak sekali selfpublishing yang keliru membayangkan pasar sehingga ujung-ujungnya penerbit memilih untuk memproduksi produk-produk buku mainstream. Maka diharapkan dalam selfpublishing semua pihak dapat berperan dalam distribusi mulai dari penerbit, penulis, dan perupanya.  

Secangkir kopi pahat dan kue kering
Meski ada banyak asap yang mengepul dari batang-batang tembakau
Yogyakarta, 19 November 2014
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: Ada “Lubang dari Separuh Langit” yang Dilihat Afrizal Malna

Novel yang keberadaanya sudah dikenal pada juli 2004 kembali lahir dengan wujud baru pada bulan September di tahun yang sama. Kepemilikannya sebenarnya sudah berada di dua tangan yang sebelumnya bernama Ira. Dan kini, buku karya Afrizal Malna ini telah berada di tangan saya sejak kemarin siang dan baru saja saya baca dan menyelesaikannya pagi ini (12/08). Detik yang menunjuk pada pukul 8.25 di tanah Yogyakarta pada pagi yang bising dengan suara hati yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah membuat saya sedikit terusik dalam fokus membacanya. Seperti biasanya, saya lebih suka novel dengan kehidupan sosial dan permasalahan negara yang memang masih sering terjadi di negara ini. Saya merasa beberapa penulis memang sengaja mengambil topik ini sebab ingin menyalurkan dan menyampaikan secara lebih sederhana dan mudah agar semua kalangan bisa memahami. Tentu lewat batas kasta dan kelas yang selama ini masih sering diagungkan di   negeri ini, barangkali seperti kata seorang tokoh di d

Antologi Ke-8; Ketika Cinta Bersemi

Masih dengan latar Jepang, ini adalah naskah ke dua saya yang berhasil masuk menjadi sebuah buku bersama naskah-naskah keren lainnya yang berlatar berbeda tetapi dengan musim yang sama; Semi. Saya ingat betul Penerbit Alif Gemilang Pressindo mengadakan lomba kisah cinta pada musim semi, tentunya dengan latar luar negeri. Saya sudah tertarik sekali. Sebab ada satu cerita yang tiba-tiba melintas di otak saya ketika membaca pengumuman event tersebut pertama kali. Saya sudah paham bahwa saya sampai saat ini belum bisa mengisahkan negeri lain selain Jepang. Sebab untuk beberapa hal saya hanya tahu menahu tentang Negeri Sakura tersebut. Padahal, mungkin kalau sekarang orang semacam dan seusia saya bisa jadi sangat menyukai Korea. Tapi, tidak begitu dengan saya. Yah, karena sudah pasti bahwa sejak awal saya hampir-hampir bermimpi untuk bisa kuliah atau hanya sekadar menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit tersebut. Dan pada akhirnya, tentu saja saya hanya bisa mengambil latar Jepang seb

Antologi ke-6; Setiaku Untuk Kamu

Ini Antologi bersama yang ke-6. Diadakan oleh Grup Muda-Mudi Jago Nulis dengan tema Kesetiaan. Salah satu naskah Flash Fiction saya masuk menjadi salah satu kontributor dibuku dengan judul Setiaku Untuk Kamu ini. ini cover bukunya: Setiaku Untuk Kamu Info Buku: Setiaku Untuk Kamu (Kumpulan Flash Fiction) Penulis : Sindu Lintang Ismoyo, dkk Penerbit : deKa Publishing Tebal : xii + 178 hlm. ; 17 x 11,36 cm ISBN 978-602-7915-36-7 Harga : Rp. 38.000,- Harga Kontributor : Rp. Rp. 32.000,- Sinopsis: Mengalami jatuh cinta adalah sesuatu yang wajar terjadi pada manusia. Karena Tuhan memberikan hati, karena Tuhan menciptakan rasa. Cinta menghadirkan bagian-bagian perasaan pada seseorang yang memilikinya; kasmaran, kagum, senang, bahagia, sakit hati, kecewa, takut, rindu dan yang lainnya. Betapa kita sibuk menahan gejolak-gejolak yang timbul saat kita mengharapkan keberadaannya. Orang pendiam pun bisa mendadak menjadi pujangga saat cinta menyelimutinya. Orang cue